Rabu, 30 November 2016

Kode Etik Kepariwisataan





"Kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dan kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual untuk meningkatkan kualitas hidup setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat " - I Gede Adrika (anggota komite dunia untuk kode etik kepariwisataan, UN-WTO)

I Gede Adrika selaku anggota koite UN-WTO berpendapat bahwa masih ada beberap pihak yang memiliki pemahaman keliru tentang kepariwisataan. bahwa kepariwisataan diartikan sebagai kegiatan yang merusak budaya, merusak lingkungan dan bahkan bertentangan dengan kesusilaan.  untuk menghindarkan kekeliruan pemahaman yang berkelanjutan dan meningkatkan secara optimal kemanfaatan pembangunan kepariwisataan serta menekan sekecil mungkin dampak negatifnya, United Nations-World Tourism Organization (UN-WTO) telah menetapkan "Global Code of Ethics for Tourism" yang sudah disahkan dalam sidang umum perserikatan bangsa-bangsa untuk dipedomani oleh semua anggota perserikatan bangsa-bangsa.

Indonesia, sebagai anggota PBB, telah memasukan kode etik kepariwisataan dunia tersebut ke dalam undang-undang no 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan sebagai salah satu prinsip dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Disamping itu, prinsip penting lainnya yang dianut kepariwisataan Indonesia adalah menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Pembangunan kepariwisataan Indonesia bertujuan antara lain untuk menghapus kemiskinan, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan mempererat persahabatan antar bangsa.

Agar berbagai pihak dapat memahami secara baik dan benar tentang kepariwisataan Indonesia adalah sangat mutlak untuk dapat menyosialisasikan prinsip kepariwisataan Indonesia, khususnya mengenai Kode Etik Kepariwisataan Dunia. Dengan pemahaman yang benar maka akan dapat meningkatkan dukungan dari berbagai pihak dalam mewujudkan tujuan pembangunan kepariwisataan Indonesia.


21 Desember 2001 A/RES/56/212 Kode Etik Kepariwisataan Dunia, Sidang Umum

Merujuk resolusi No. 32/156 pada tanggal 19 Desember 1977, yang telah disepakati kerja sama hubungan antara perserikatan bangsa-bangsa dengan World Tourism Organization (WTO). Berdasarkan paragraf 5 resolusi nomor 36/41 tanggal 29 november 1981, telah ditetapkan bahwa world tourism organization berperan aktif dalam hasil sidang umum sesuai dengan wilayah organizatoris.

Mengingat deklarasi manila tentang pariwisata dunia pada tanggal 10 oktober 1980 yang telah diputuskan world tourism organization 1, dalam rio declaration on environment and development 2 dan agenda 213 yang disahkan pada "the united nations conference on environment and development" pada tanggal 14 juni 1992 dan the amman declaration on peace tough tourism pada tanggal 11 november 2004.

Menimbang komisi pengembangan yang berkelanjutan pada persidangan ke-7, pada bulan april 1999, WTO menyatakan perhatian khusus terhadap kode etik kepariwisataan dunia dan mengajak seluruh anggota untuk dapat berpartisipasi dalam pengembangan, penerapan dan pengawasan terhadap kode etik kepariwisataan dunia.

Mengingat pula resolusi nomor 53/200 pada tangga 15 desember 1998 bahwa pada tahun 2002 dicanangkan sebagai "The International Year of Ecotourism", yang berpengarus terhadap ekonomi dan berdasarkan keputusan dewan 1998/40 bertanggal 30 juli 1998, WTO sangat menaruh perhatian pada penting nya eko-wisata dalam berperan aktif dalam mendukung International Year of Ecotourism tahun 2002, untuk mendukung pemahaman yang baik pada seluruh masyarakat terhadap pengaruh yang lebih baik dalam kontribusinya berupa nilai-nilai budaya dari berbagai perbedaan dalam rangka memperkuat perdamaian dunia.


KODE ETIK KEPARIWISATAAN DUNIA

1. Global Code of Ethics for Tourism telah diputuskan pada sidang umum WTO ke-13, yang memuat prinsip-prinsip dalam pengembangan kepariwisataan, dan sebagai acuan bagi berbagai stakeholder pariwisata dengan tujuan untuk meminimalisir dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan dan peninggalan budaya dan memaksimalkan peningkatan dalam pengembangan yang berkelanjutan dengan pengentasan kemiskinan dan menciptkan kerukunan antar masyarakat.

2. pengembangan pariwisata yang berkelanjutan bertanggung jawab terhadap perubahan yang menguntungkan bagi aspek sosial lainnya.

3. pemerintah dan stakeholder sektor pariwisata lainnya dituntut untuk lebih awal memahami global code of ethics for tourism yang relevan terhadap perundangan dan peraturan, pelaksana profesional, dan hal itu mencontoh negara lain yang telah melaksanakan pemahaman terhadap kode etik kepariwisataan.

4. mendukung WTO dalam mempromosikan  Global Code of Ethics for Tourism bagi stakeholder pariwisata.

5. permintaan sekjen WTO, bahwa dalam menindak lanjuti perkembangan pelaksanaanya yang telah diputuskan pada sidang umum WTO ke-59.

6. Pembukaan

kami para anggota organisasi kepariwisataan dunia (WTO), perwakilan industri pariwisata dunia, para delegasi negara, teritorial, perusahaan, institusi dan lembaga yang menghadiri sidang umum di santiago, chili, tanggal 1 oktober 1999;

menegaskan kembali bahwa tujuan-tujuan yang tercantum dalam pasal 3 anggaran dasar oganisasi kepariwisataan dunia, dan menyadari peran "penting dan menentukan" dari organisasi ini, seperti diakui oleh majelis umum perserikatan bangsa-bangsa, untuk mendorong dan mengembangkan kepariwisataan dalam rangka memberikan sumbangan terhadap pengembangan ekonomi, pengertian antar-bangsa, perdamaian, kesejahteraan, menghormati dan mematuhi nilai-nilai universal hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar bagi semua, tanpa adanya perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama;

meyakini dengan sesungguhnya bahwa melalui hubungan yang langsung, spontan dan tanpa perantara dapat meningkatkan hubungan anata pria maupun wanita dari berbagai budaya dan gaya hidup. kepariwisataan merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menciptakan perdamaian dan faktor untuk membangun persahabatan serta saling pengertian antar penduduk di dunia;

7. menimbang bahwa eratnya hubungan kepariwisataan dengan pelestarian lingkungan, pembangunan perekonomian dan upaya untuk pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan, sseperti dirumuskandan telah ditetapkan oleh PBB tahun 1992 dalam konferensi "Konferensi Tingkat Tinggi Tentang Bumi" di Rio de Jeneiro dan dicantumkan dalam "agenda 21";

mempertimbangkan terjadinya perubahan yang cepat dan terus tumbuhnya kepariwisataan di masa lalu maupun masa mendatang untuk tujuan berlibur, bisnis, kebudayaan, keagamaan atau kesehatan, serta pengaruhnya yang kuat baik secara positif maupun negatif terhadap lingkungan, perekonomian dan masyarakat baik bagi negara sumber wisatawan maupun penerima wisatawan, terhadap masyarakat lokal ataupun penduduk asli, dan juga terhadap hubungan internasional maupun perdagangan; bertujuan untuk memajukan kepariwisataan yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan kepariwisataan yang terbuka secara universal dalam kerangka hak setiap orang untuk mengisi waktu luangnya, berkreasi atau melakukan perjalanan sebagai pilihan masyarakat dari seluruh penduduk;

mempunyai keyakinan bahwa industri pariwisata dunia secara keseluruhan mempunyai banyak kemanfaatan dengan melaksanakannya dalam suatu suasana yaang menguntungkan ekonomi pasar, perusahaan swasta, perdagangan bebas, dan itu semuanya diarahkan untuk mengoptimalkan dampak kemanfaatannya dalam menciptkan kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja;

sangat meyakini bahwa dengan dipatuhi nya beberap prinsip dan sejumlah peraturan, maka kepariwisataan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan adalh tidak bertentangan dengan perdagangan bebas yang semakin tumbuh, yang mengatur syarat-syarat perdagangan bebas dalam bidnag jasa-jasa, dan dibawah perlindungan syarat-syarat tersebut, perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang ini yang dimungkinkan untuk mengadakan penyelarasan di bidang ekonomi dan ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan, keterbukaan dalam perdagangan internasional serta perlindungan terhadap identitas sosial dan budaya;

mengingat bahwa dengan pendekatan seperti itu, semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan-di tingkat nasional, regional dan lokal, baik pemerintah, perusahaan, asosiasi usaha pariwisata, pekerja pada sektor ini, semua organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pariwisata, termasuk juga masyarakat yang menerima.


8. wisatawan, pers dan wisatawan itu sendiri. mempunyai tanggung jawab yang saling berkaitan baik secara perorangan maupun secara kelompok masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan dan dengan rumusan tugas serta tanggung jawab masing-masing akan turut mewujudka pencapaian tujuan ini;

bertekad agar tetap sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sendiri oleh WTO sejak menetapkan resolusi 364(XII) dalam sidang umum tahun 1997 (di Istanbul), mendorong kemitraan sejati antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan kepariwisataan, dan berharap terwujudnya hubungan kemitraan serta kerja sama dalam semangat yang sama dalam keterbukaan dan keseimbangan antara sumber wisatawan dengan negara penerima wisatawan serta usaha pariwisatanya masing-masing;

menindaklanjuti deklarasi manila tahun 1980 tentang kepariwisataan dunia dan tahun 1997 tentang dampak sosial kepariwisataan, juga tentang ketentuan hak-hak berwisata dan aturan bagi wisatawan yang ditetapkan di sofia tahun 1985 dibawah naungan WTO;

meyakini bahwa instrumen tersebut harus dilengkapi dengan suatu prinsip yang saling memiliki ketergantungan dari yang satu dengan yang lainnya untuk dapat ditafsirkan dan dilaksanakan sehingga para pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan harus dapat menunjukan perilaku mereka sebagi model dalam menyongsong abad kedua puluh satu;

menggunakan, untuk tujuan dari instrumen tersebut, definisi dan klasifikasi yang berlaku untuk perjalanan, dan khususnya konsep yang berlaku untuk "pengunjung", "wisatawan", dan "kepariwisataan", seperti telah ditetapkan dalam konferensi internasional Ottwa, yang berlangsung dari 24-28 juni 1991 dan telah disetujui pada tahun 1993 oleh komisi statistik PBB dalam sidangnya yang ke-27.



Merujuk pada khususnya Instrumen-instrumen berikut:
 - Deklarasi Universal tentang hak azasi manusia, 10 desember 1948;
 - Persetujuan internasional tentang hal ekonomi, sosial dan budaya, 16 desember 1966;
 - Persetujuan internasional tentang hak sipil dan politik, 16 desember 1966
 - Konvensi Warsawa tentang transportasi udara, 12 oktober 1929
 - Konvensi Chicago tentang penerbangan sipil internasional, 7 dsember 1944, dan konvensi terkait yang ditetapkan di tokyo, den haag dan montreal
 - Konvensi tentang fasilitas kepabeanan dalam bidang kepariwisataan, 4 juli 1954 dan protokol terkait lainnya





EmoticonEmoticon