Pendidikan merupakan sebuah
tonggak perubahan suatu Negara. Mengapa demikian ?, hal itu dikarenakan sudah
begitu mendarah daging dikalangan masyarakat bahwa pendidikan memegang peranan
dan posisi yang sangat mulia bagi pembentukan serta perkembangan kepribadian
individu. Hal tersebut selalu menjadi tujuan umum dari setiap bentuk pendidikan
yang diselenggarakan. Sebuah pertanyaan muncul, bagaimanakah cara agar mutu
pendidikan yang bermanifestasi terhadap tujuan dari pendidikan tersebut dapat
dicapai ? Haruskah ada suatu desain baru dari bentuk penyelenggaraan pendidikan
?
Politik Pendidikan di Indonesia
Indonesia khususnya dibidang
pendidikan memiliki politik yang cenderung berorientasi terhadap kuantitas
ketimbang kualitas. Tak heran banyak sekolah-sekolah yang menjadikan kuantitas
sebagai acuan akan hasil suatu mutu dari bentuk penyelenggaraan sekolah.
Meskipun tidak dapat dielakkan bahwa ada pelajar Indonesia yang memiliki
kualitas internasional, dibuktikan dengan seringnya perwakilan Indonesia
menyabet medali di berbagai olimpiade sains internasional. Kita bisa berbangga,
tetapi kebanggaan tersebut akan luntur dikarenakan manifestasi pendidikan Indonesia
umumnya selalu mengejar kuantitas. Mutu pendidikan kita pun selalu saja diukur
dari segi kuantitas nya, padahal kuantitas merupakan abstraksi matematis yang
mudah dimanipulasi.
Bayangkan saja, dibandingkan
dengan Negara-negara Eropa yang sangat mengejar kualitas pendidikan, mampukah
generasi penerus bangsa Indonesia bersaing di kancah internasional?. Orientasi
pelajar di Negara-negara Eropa langsung kepada kreatifitas dan inovasi, dari
hal itulah mereka mampu menemukan banyak hal-hal baru serta menghasilkan
teori-teori. Sedangkan Indonesia masih
saja berkelebat dengan menghafal rumus dan selalu setia menjadi Negara
konsumtif teori-teori yang dihasilkan oleh Negara-negara maju yang ada di dunia.
Pendidikan indonesia juga
terkenal akan “politik uang” nya, jika lembaga-lembaga pendidikan Indonesia
terbelenggu oleh “politik uang”, mau jadi apa Negara ini kedepannya. Sudah
jelas jika “politik uang” bermain, kualitas pendidikan ditentukan oleh
orang-orang yang ber-uang. Jadi, buat apa juga embel-embel “kesempatan selalu
terbuka bagi semua orang”. Semua orang yang memiliki uang pastinya. Meskipun
banyak sekali beasiswa-beasiswa yang dikucurkan pemerintah untuk masyarakat
yang kurang ber-uang, tetap saja banyak pelajar-pelajar kita yang tidak mampu
melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Jika kita menyalahkan
kesempatan tidak mustahil bagi bangsa besar ini untuk bisa maju mutu
pendidikannya, nah masalahnya keadilan ini terletak pada standard, sistem serta
syarat yang dipakai sehingga pendidikan hanya melayani kepentingan masyarakat
yang dominan.
Tak jarang, kualitas pelajar yang
berasal dari kalangan dominan kalah telak dibandingkan dengan kualitas kalangan
“kurang beruntung”. Tetapi pada kenyataannya bahwa si dominan inilah yang mampu
untuk menikmati sistem “politik uang” pendidikan di Indonesia. Perbaikan selalu
dilakukan setiap saat oleh orang-orang yang berwenang akan hal ini, namun
sebanyak itu juga “politik uang” memainkan peran nya. Sungguh tragis pendidikan
di tanah air tercinta, apakah pendidikan selalu saja di limitasi oleh uang?
Semua selalu ada pro dan kontra nya, meskipun uang memiliki peranan di setiap
aspek kehidupan namun jangan pernah menyalahgunakan uang. Jika saja “politik uang” tidak memiliki
peranan terhadap pendidikan, pastinya pelajar yang putus sekolah tidak akan
ada, apalagi tidak ada generasi muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan.
Apakah ada ketidaktulusan dalam mengelola serta menyelenggarakan pendidikan ?,
ternyata benar adanya bahwa episteme pendidikan di Indonesia masih berorientasi
pada uang.
Mengapa pendidikan di Indonesia
tidak diangkat dari kenyataan bahwa sebahagian besar masyarakat Indonesia
merupakan orang-orang yang tidak dominan. Fenomena “kemiskinan” selalu
menghalangi orang-orang miskin dalam menikmati kesempatan yang selalu ada,
termaksud kesempatan untuk meraih pendidikan, hal ini disebabkan karenan adanya
ketimpangan struktur institusional didalam masyarakat dan sistem pendidikan
modern merupakan salah satu faktor terpenting yang menggambarkan hal itu
sekaligus mengabadikan nya.
Ide
Sebagai pemuda generasi penerus
bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk menemukan solusi dari masalah yang
muncul. Banyak sekali solusi-solusi yang sudah ditawarkan terkait pendidikan,
salah satu yang paling favorit adalah solusi yang diciptakan oleh pedagog asal
Jerman, FW Foester (1869-1966), Foester mencetuskan sebuah sistem pendidikan
berbasis pada pendidikan karakter yang menekankan aspek dimensi etis-spiritual.
Foester memiliki tujuannya sendiri, bagi nya pembentukan karakter yang terwujud
didalam kesatuan esensial suatu subyek dengan perilaku hidup yang dimilikinya.
Bagi Foester, karakter adalah suatu kualifikasi yang menggambarkan kepribadian
seseorang. Karakter pula yang menjadi landasan identitas dalam mengatasi
pengalaman kontingen yang berubah-ubah.
Untuk mendukung teorinya ini,
Foester secara khusus menyebutkan ada empat pilar dasar dari pendidikan
karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur
berdasarkan hierarki nilai. Jadi menurut Foester, nilai menjadi pedoman
normatif atas setiap tindakan yang dilakukan. Kedua, koherensi yang memberi
keberanian dan membuat seseorang teguh akan prinsipnya. Sikap ini merupakan
sebuah keutamaan (Cardinal Virtue) yang membutuhkan waktu lama untuk
melatihnya. Ketiga, otonomi. Pada bagian ketiga ini, seseorang harus berusaha
dalam menginternalisasikan aturan-aturan yang berasal dari luar untuk menjadi
sebuah nilai bagi pribadi, jika suatu individu mampu meraih sampai posisi ini,
mereka layak disebut sebagai individu yang berprinsipil. Keempat, keteguhan
serta kesetiaan. Pada tahap ini suatu individu akan mencapai apa yang disebut
sebagai konsisten dan mencoba untuk mempertahankan hal baik tersebut, bahkan
tak ayal jika banyak individu yang berkorban demi sebuah konsistensi.
Tampaknya solusi dari seorang
ahli berkebangsaan Jerman tersebut sudah sangat sempurna. Namun perlu ada
pengoreksian serta pencocokan akan teori dengan prakteknya. Di indonesia
sendiri, jenjang pendidikan terbagi atas beberapa tahap, jika diterapkan
pendidikan karakter ke semua jenjang pendidikan, terjadi ketidakharmonisan
hasil yang diperoleh, jenjang dasar tidak mungkin disamakan dengan jenjang
menengah, begitupun jenjang menengah yang tidak bisa disamakan dengan jenjang
tinggi.
Harus ada sebuah desain baru yang
berorientasi terhadap jenjang pendidikan di Indonesia. Dimulai dari jenjang
dasar, peran guru sangat besar pada tahap ini. Guru-guru yang mendapatkan tugas
dalam memanusiakan manusia pada jenjang dasar wajib memiliki kemampuan mengajar
yang berkualitas disertai dengan kreatifitas dan inovasi yang tinggi. Pada
jenjang dasar, masa depan generasi bangsa Indonesia pertama sekali diukir, jika
pengukiran nya salah, sangat susah untuk dihilangkan. Sistem pengelolaan
pendidikan dasar harus nya berdiri sendiri dibawah naungan menteri pendidikan,
karena jenjang dasar memiliki tanggung jawab yang besar dalam merajut masa
depan bangsa. Masalah “politik uang” yang menjadi hantu bagi pendidikan di
Indonesia sudah tidak banyak berkutik pada jenjang ini, karena pemerintah telah
membebaskan segala biaya pada jenjang dasar.
Menuju ke jenjang menengah, jika
pada jenjang dasar, penyelenggara serta pengelola pendidikan sudah melaksanakan
tugas nya dengan baik, maka pada jenjang menengah peran guru sudah mulai
terbantu dengan peran siswa. Pada tahap ini guru dan siswa memiliki peran yang
sama dalam mengukir masa depan bangsa indonesia. Jika dasarnya telah diberikan
pensil yang sangat berkualitas untuk menggambar, maka pada jenjang ini, siswa
mempunyai tanggung jawab untuk meruncingkan pensil tersebut dengan bantuan
pengarahan guru. Jenjang menengah juga sudah lepas dari biaya pendidikan, itu
artinya tidak ada alasan bagi pelajar untuk tidak melanjutkan dari jenjang
dasar ke jenjang menengah.
Jenjang perguruan tinggi adalah
ujung dari semua harapan penerus bangsa, jika pada pangkalnya sudah diberikan
segala sesuatu yang berkualitas, kemungkinan besar pada ujung nya akan
menghasilkan sesuatu yang gemilang. Sesuatu yang gemilang itu mampu untuk
menghasilkan pangkal yang lebih berkualitas dari mereka. Hal ini berarti
perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyediakan sumber
daya manusia yang berkualitas dan berkarakter untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang lebih dari mereka. Pendidikan ini tak lebih seperti sebuah
lingkaran yang terus berputar, tidak akan ada awal dan juga akhir. Pada tahap
ini siswa memiliki peran yang lebih besar dibandingkan guru nya, karena pensil
berkualitas baik yang sudah berhasil ditajamkan harus mereka gunakan untuk
mengukir perjalanan masa depan bangsa Indoensia sebaik-baiknya.
Harapan dan Saran
Masalah terbesar justru terletak
pada jenjang perguruan tinggi, “politik uang” memiliki peran yang sangat besar.
Meskipun pengelola pendidikan telah memberikan begitu banyak bantuan dan
beasiswa, namun masih tidak mampu untuk mengalahkan “politik uang”. Masalah ini
merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya oleh pengelola
pendidikan, pemerintahan serta seluruh elemen masyarakat. Adakah sebuah harapan
untuk mereka yang berhasil menajamkan pensilnya yang berkualitas untuk mengukir
masa depan bangsa indonesia? Sebuah pertanyaan yang harus segera kita temukan
bersama solusinya.
Yakinlah bahwa suatu saat bangsa
ini dapat maju, jika pendidikan kita berkualitas dan bermutu. Yakinlah bahwa
pendidikan kita akan bermutu jika peran guru dan murid kita maksimalkan sepanjang
waktu. Yakinlah semua harapan itu akan tercipta jika saja “uang” tak meredamkan
semua harap dan cita. –( Sandi Putra Kelana)
EmoticonEmoticon