Senin, 03 Agustus 2015

Potret Pendidikan Indonesia


Pendidikan merupakan sebuah tonggak perubahan suatu Negara. Mengapa demikian ?, hal itu dikarenakan sudah begitu mendarah daging dikalangan masyarakat bahwa pendidikan memegang peranan dan posisi yang sangat mulia bagi pembentukan serta perkembangan kepribadian individu. Hal tersebut selalu menjadi tujuan umum dari setiap bentuk pendidikan yang diselenggarakan. Sebuah pertanyaan muncul, bagaimanakah cara agar mutu pendidikan yang bermanifestasi terhadap tujuan dari pendidikan tersebut dapat dicapai ? Haruskah ada suatu desain baru dari bentuk penyelenggaraan pendidikan ?

Politik Pendidikan di Indonesia

Indonesia khususnya dibidang pendidikan memiliki politik yang cenderung berorientasi terhadap kuantitas ketimbang kualitas. Tak heran banyak sekolah-sekolah yang menjadikan kuantitas sebagai acuan akan hasil suatu mutu dari bentuk penyelenggaraan sekolah. Meskipun tidak dapat dielakkan bahwa ada pelajar Indonesia yang memiliki kualitas internasional, dibuktikan dengan seringnya perwakilan Indonesia menyabet medali di berbagai olimpiade sains internasional. Kita bisa berbangga, tetapi kebanggaan tersebut akan luntur dikarenakan manifestasi pendidikan Indonesia umumnya selalu mengejar kuantitas. Mutu pendidikan kita pun selalu saja diukur dari segi kuantitas nya, padahal kuantitas merupakan abstraksi matematis yang mudah dimanipulasi.

Bayangkan saja, dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang sangat mengejar kualitas pendidikan, mampukah generasi penerus bangsa Indonesia bersaing di kancah internasional?. Orientasi pelajar di Negara-negara Eropa langsung kepada kreatifitas dan inovasi, dari hal itulah mereka mampu menemukan banyak hal-hal baru serta menghasilkan teori-teori. Sedangkan  Indonesia masih saja berkelebat dengan menghafal rumus dan selalu setia menjadi Negara konsumtif teori-teori yang dihasilkan oleh Negara-negara maju yang ada di dunia.

Pendidikan indonesia juga terkenal akan “politik uang” nya, jika lembaga-lembaga pendidikan Indonesia terbelenggu oleh “politik uang”, mau jadi apa Negara ini kedepannya. Sudah jelas jika “politik uang” bermain, kualitas pendidikan ditentukan oleh orang-orang yang ber-uang. Jadi, buat apa juga embel-embel “kesempatan selalu terbuka bagi semua orang”. Semua orang yang memiliki uang pastinya. Meskipun banyak sekali beasiswa-beasiswa yang dikucurkan pemerintah untuk masyarakat yang kurang ber-uang, tetap saja banyak pelajar-pelajar kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Jika kita menyalahkan kesempatan tidak mustahil bagi bangsa besar ini untuk bisa maju mutu pendidikannya, nah masalahnya keadilan ini terletak pada standard, sistem serta syarat yang dipakai sehingga pendidikan hanya melayani kepentingan masyarakat yang dominan.

Tak jarang, kualitas pelajar yang berasal dari kalangan dominan kalah telak dibandingkan dengan kualitas kalangan “kurang beruntung”. Tetapi pada kenyataannya bahwa si dominan inilah yang mampu untuk menikmati sistem “politik uang” pendidikan di Indonesia. Perbaikan selalu dilakukan setiap saat oleh orang-orang yang berwenang akan hal ini, namun sebanyak itu juga “politik uang” memainkan peran nya. Sungguh tragis pendidikan di tanah air tercinta, apakah pendidikan selalu saja di limitasi oleh uang? Semua selalu ada pro dan kontra nya, meskipun uang memiliki peranan di setiap aspek kehidupan namun jangan pernah menyalahgunakan uang.  Jika saja “politik uang” tidak memiliki peranan terhadap pendidikan, pastinya pelajar yang putus sekolah tidak akan ada, apalagi tidak ada generasi muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Apakah ada ketidaktulusan dalam mengelola serta menyelenggarakan pendidikan ?, ternyata benar adanya bahwa episteme pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada uang.

Mengapa pendidikan di Indonesia tidak diangkat dari kenyataan bahwa sebahagian besar masyarakat Indonesia merupakan orang-orang yang tidak dominan. Fenomena “kemiskinan” selalu menghalangi orang-orang miskin dalam menikmati kesempatan yang selalu ada, termaksud kesempatan untuk meraih pendidikan, hal ini disebabkan karenan adanya ketimpangan struktur institusional didalam masyarakat dan sistem pendidikan modern merupakan salah satu faktor terpenting yang menggambarkan hal itu sekaligus mengabadikan nya.

Ide

Sebagai pemuda generasi penerus bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk menemukan solusi dari masalah yang muncul. Banyak sekali solusi-solusi yang sudah ditawarkan terkait pendidikan, salah satu yang paling favorit adalah solusi yang diciptakan oleh pedagog asal Jerman, FW Foester (1869-1966), Foester mencetuskan sebuah sistem pendidikan berbasis pada pendidikan karakter yang menekankan aspek dimensi etis-spiritual. Foester memiliki tujuannya sendiri, bagi nya pembentukan karakter yang terwujud didalam kesatuan esensial suatu subyek dengan perilaku hidup yang dimilikinya. Bagi Foester, karakter adalah suatu kualifikasi yang menggambarkan kepribadian seseorang. Karakter pula yang menjadi landasan identitas dalam mengatasi pengalaman kontingen yang berubah-ubah.

Untuk mendukung teorinya ini, Foester secara khusus menyebutkan ada empat pilar dasar dari pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Jadi menurut Foester, nilai menjadi pedoman normatif atas setiap tindakan yang dilakukan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian dan membuat seseorang teguh akan prinsipnya. Sikap ini merupakan sebuah keutamaan (Cardinal Virtue) yang membutuhkan waktu lama untuk melatihnya. Ketiga, otonomi. Pada bagian ketiga ini, seseorang harus berusaha dalam menginternalisasikan aturan-aturan yang berasal dari luar untuk menjadi sebuah nilai bagi pribadi, jika suatu individu mampu meraih sampai posisi ini, mereka layak disebut sebagai individu yang berprinsipil. Keempat, keteguhan serta kesetiaan. Pada tahap ini suatu individu akan mencapai apa yang disebut sebagai konsisten dan mencoba untuk mempertahankan hal baik tersebut, bahkan tak ayal jika banyak individu yang berkorban demi sebuah konsistensi.

Tampaknya solusi dari seorang ahli berkebangsaan Jerman tersebut sudah sangat sempurna. Namun perlu ada pengoreksian serta pencocokan akan teori dengan prakteknya. Di indonesia sendiri, jenjang pendidikan terbagi atas beberapa tahap, jika diterapkan pendidikan karakter ke semua jenjang pendidikan, terjadi ketidakharmonisan hasil yang diperoleh, jenjang dasar tidak mungkin disamakan dengan jenjang menengah, begitupun jenjang menengah yang tidak bisa disamakan dengan jenjang tinggi.

Harus ada sebuah desain baru yang berorientasi terhadap jenjang pendidikan di Indonesia. Dimulai dari jenjang dasar, peran guru sangat besar pada tahap ini. Guru-guru yang mendapatkan tugas dalam memanusiakan manusia pada jenjang dasar wajib memiliki kemampuan mengajar yang berkualitas disertai dengan kreatifitas dan inovasi yang tinggi. Pada jenjang dasar, masa depan generasi bangsa Indonesia pertama sekali diukir, jika pengukiran nya salah, sangat susah untuk dihilangkan. Sistem pengelolaan pendidikan dasar harus nya berdiri sendiri dibawah naungan menteri pendidikan, karena jenjang dasar memiliki tanggung jawab yang besar dalam merajut masa depan bangsa. Masalah “politik uang” yang menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia sudah tidak banyak berkutik pada jenjang ini, karena pemerintah telah membebaskan segala biaya pada jenjang dasar.


Menuju ke jenjang menengah, jika pada jenjang dasar, penyelenggara serta pengelola pendidikan sudah melaksanakan tugas nya dengan baik, maka pada jenjang menengah peran guru sudah mulai terbantu dengan peran siswa. Pada tahap ini guru dan siswa memiliki peran yang sama dalam mengukir masa depan bangsa indonesia. Jika dasarnya telah diberikan pensil yang sangat berkualitas untuk menggambar, maka pada jenjang ini, siswa mempunyai tanggung jawab untuk meruncingkan pensil tersebut dengan bantuan pengarahan guru. Jenjang menengah juga sudah lepas dari biaya pendidikan, itu artinya tidak ada alasan bagi pelajar untuk tidak melanjutkan dari jenjang dasar ke jenjang menengah.


Jenjang perguruan tinggi adalah ujung dari semua harapan penerus bangsa, jika pada pangkalnya sudah diberikan segala sesuatu yang berkualitas, kemungkinan besar pada ujung nya akan menghasilkan sesuatu yang gemilang. Sesuatu yang gemilang itu mampu untuk menghasilkan pangkal yang lebih berkualitas dari mereka. Hal ini berarti perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter untuk menghasilkan sumber daya manusia yang lebih dari mereka. Pendidikan ini tak lebih seperti sebuah lingkaran yang terus berputar, tidak akan ada awal dan juga akhir. Pada tahap ini siswa memiliki peran yang lebih besar dibandingkan guru nya, karena pensil berkualitas baik yang sudah berhasil ditajamkan harus mereka gunakan untuk mengukir perjalanan masa depan bangsa Indoensia sebaik-baiknya.



Harapan dan Saran

Masalah terbesar justru terletak pada jenjang perguruan tinggi, “politik uang” memiliki peran yang sangat besar. Meskipun pengelola pendidikan telah memberikan begitu banyak bantuan dan beasiswa, namun masih tidak mampu untuk mengalahkan “politik uang”. Masalah ini merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya oleh pengelola pendidikan, pemerintahan serta seluruh elemen masyarakat. Adakah sebuah harapan untuk mereka yang berhasil menajamkan pensilnya yang berkualitas untuk mengukir masa depan bangsa indonesia? Sebuah pertanyaan yang harus segera kita temukan bersama solusinya.


Yakinlah bahwa suatu saat bangsa ini dapat maju, jika pendidikan kita berkualitas dan bermutu. Yakinlah bahwa pendidikan kita akan bermutu jika peran guru dan murid kita maksimalkan sepanjang waktu. Yakinlah semua harapan itu akan tercipta jika saja “uang” tak meredamkan semua harap dan cita. –( Sandi Putra Kelana) 


EmoticonEmoticon